Dari semua pemimpin daerah/negara di Indonesia, yang menurut saya bisa disebut beda hanya Suharto (pernah saya tulis di sini) – terutama awal era-nya, Ali Sadikin (pernah saya tulis di sini), dan Gus Dur.
Kenapa beda?
Banyak hal/pemikiran/program yang terasa beda dan signifikan, yang terjadi di era mereka.
Saatnya menambahkan Ahok. Tentu yang mau saya bahas hanya yang menurut saya baik selama dia jabat ya (sama seperti kita semua, tidak semua tindakan dan kebijakan yang diambil seseorang itu baik), dengan harapan bisa diteruskan oleh siapa pun pemimpin daerah di Indonesia.
1. Result Will Get You There
Yang simpel dulu. Fakta bahwa Ahok masih bisa masuk putaran kedua, menurut saya, sudah merupakan suatu hal yang fenomenal.
Dari awal, mau menggunakan cara apa pun, Ahok tidak akan bisa jadi Gubernur DKI, kalau bukan menggantikan Jokowi.
Saat maju sebagai satu paket dg Jokowi pun, Ahok lebih menjadi liability. Banyak figur lain yang jelas lebih menguntungkan elektabilitas Jokowi saat itu.
Saat maju sebagai gubernur, packaging Ahok sebagai kepala daerah tidaklah seksi dan layak diusung parpol.
Kita tidak usah memungkiri bahwa kita punya bias karena agama, etnis, dan bangsa.
Wajar sekali kalau kita akan punya simpati berdasarkan agama, etnis, dan bangsa kita.
Kalau saja Miss Universe dipilih via voting, satu orang satu suara, saya berani jamin, peserta Indonesia tidak akan pernah kalah dari Filipina atau Puerto Rico, sejelek apa pun penampilannya.
Dari data demografis Jakarta, sisi etnis dan agama yang biasa jadi bahan politik, base Ahok di bawah 15%.
Belum lagi, kepribadian dia yang eksplosif, serta mulut yang bikin sakit kuping dan hati.
Belum lagi, tindakan dia yang terang-terangan memiliki perseteruan dengan pihak-pihak tertentu seperti DPRD.
Ibarat kontes American Idol, ada peserta dari etnis minoritas (katakanlah Asia), dari kota terpencil.
Cara berkomunikasi ke penonton, nyebelin.
Terang-terangan menganggap sistem industri musik yang sekarang jelek, padahal juri dari industri itu semua.
Bagaimana bisa masuk final?
Ya cuma dengan satu cara… menyanyilah sedemikian rupa sehingga penonton mengganggap ini luar biasa, beda dari yang pernah mereka dengar sebelumnya.
Sama ceritanya dg Ahok.
Semua base demografis pilih dia pun cuma maksimal dapat 15%.
Putaran pertama dia dapat 43%, nyaris 3x base demografis-nya.
Kenapa 28% yang tidak seiman dan tidak satu etnis pilih dia? Menurut saya sederhana.
Saat cari dokter, kita lihat track record, kita tidak gunakan kriteria agama dan lulusan mana.
Saat makan di restoran, kita hanya lihat menu dan percaya pada lidah, tidak perduli kokinya mendukung pernikahan sesama jenis, atau ternyata fans klub bola musuh kita.
Saat ditanya petinju terbaik sepanjang masa, walau bermulut besar dan gaya nyebelin, saya pilih Muhammad Ali.
2. APBD Management.
Bedanya dg kebanyakan? Kita terbiasa mendengar bahwa kinerja yang biasa dibanggakan adalah penyerapan anggaran.
Kasarnya, kalau di swasta, ini artinya makin banyak spending makin baik. Aneh ya?
Tak heran, biasanya fokusnya jadi bikin daftar program untuk menghabiskannya.
Selain mental penghabis anggaran, ada satu lagi yang tidak asyik, yaitu kronisnya korupsi.
Buat yang terkaget-kaget melihat besarnya kebocoran kasus e-KTP (lebih dari 30% berakhir di invididu yg tidak berhak), akan lebih kaget bahwa praktek itu bukan hal luar biasa.
eKTP yang notabene proyek skala nasional, yang pasti diawasi dengan ketat, aja gitu.
Bagaimana dengan proyek-proyek kecil di daerah yang tidak seketat itu sorotan-nya?
Kalau jadi Kepala Daerah dan tahu sebagian APBD berakhir di kantong orang-orang sekelilingnya, apa yang akan dilakukan dong?
Diam saja, yang penting dapat stempel WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)?
Ahok melakukan manuver menarik.
Bagaimana program-program pemerintah bisa jalan tanpa spending 1 peser pun APBD?
Leverage pun digunakan, melalui kontribusi dari para pelaku bisnis.
Kenapa pelaku bisnis mau? Bisnis itu logis matematis, motifnya ya ada budget marketing, ada pengurangan pajak (CSR), atau pengurangan/settlement kewajiban.
Walaupun kontroversial, menurut saya hal ini jangan langsung ditabukan.
Kalau belum jelas aturan, ya dibuat jelas.
Kalau dibilang dulu pernah ada yang menyalahgunakan, tinggal dilihat dulu itu proses bagaimana dan pelaku siapa, auditnya bagaimana. Intinya, pelajari dulu.
Perusahaan-perusahaan yang dilibatkan, banyak yang bonafid dan bisa diaudit lewat jalur pajak, akuntan publik bonafid, dan OJK (kalau Tbk).
Dan kalau ada penyimpangan pun, negara tidak dirugikan sepeser pun.
Bukan uang negara yang digunakan. Negara cuma dapat hasilnya.
Cek saja pemenang tender UPS, belum tentu punya kantor, belum tentu kerjakan sendiri.
Cek proyek Pemda DKI. Di luar BUMN, berapa banyak perusahaan bonafid atau Tbk yang menjadi pemenang proyek APBD?
Apakah yang biasa dapat cipratan APBD ini diam saja? Pasti tidak. 30% dari 60T itu 18T, lebih besar dari kasus terbesar yang KPK pernah pegang.
3. Service – Result Oriented
Jarang Pemda yang bisa melakukan program dengan cepat dan terasa langsung.
Saya ambil contoh yang saya tahu pasti karena pernah digunakan tempat saya kerja, yaitu Qlue.
Qlue digunakan dengan disiplin oleh seluruh elemen Pemda DKI.
Bila mendengar betapa ‘taat’ nya para user Qlue dari elemen Pemda DKI untuk menjaga ‘service level’, pasti merasa ini bukan Pemda, tapi perusahaan jasa.
Tak heran, dari informasi yang saya dapat, lebih dari 80% aduan yang jumlahnya ribuan, bisa selesai dengan baik.
Saya yakin banyak di sekitar kita yang coba masukin keluhan ke Qlue dan punya pengalaman bagus.
Dari mulai jalan rusak, hingga bising karena proyek Pemda, semua ada follow up-nya.
Hebatnya apa sih?
Sebelum ini, untuk bikin kayak gini, Pemda DKI akan mengadakan tender untuk konsultasi, pembuatan software, pelatihan, sosialisasi.
Setahun bisa habis hanya untuk buat software-nya.
Efektif? Belum tentu.
Untuk Qlue, berapa APBD untuk hal bikin sistem-nya? Mungkin nol.
Kembali ke no 2 di atas, Qlue butuh public exposure, dan bersedia digunakan sistem-nya oleh Pemda DKI.
Kenapa pemda tidak meniru pendekatan seperti ini?
Bukan cuma melaksanakan program yang cepat, tanpa budget, namun benar-benar juga menjamin layanan keluhan.
4. Fix Basic Things
Ada alasan kenapa masalah besar seperti banjir, macet, kemiskinan itu selalu ada dari masa ke masa, walaupun banyak orang pandai sudah berusaha memecahkannya.
Namun kadang, saking rumitnya solusi yang dipikirkan, hal-hal kecil sering terlalu ‘remeh’ untuk dilakukan.
Banjir contohnya. Semua punya teori macam-macam soal mengatasi banjir. Namun semua pasti setuju, gorong-gorong penuh sampah adalah masalah. Pemda DKI kini punya 15,000 orang yang digaji UMP untuk memastikan ‘hal kecil’ ini. Tak heran, timbunan sampah yang sudah berumur tahunan seperti kabel bisa keluar dari perut Jakarta.
Dan kalau belum bisa mengurangi frekuensi munculnya banjir, ya percepat saja tindakan untuk menghilangkan genangan. Caranya, ya yang paling simpel, pompa aja.
5. (at least Financially) Independent
Mungkin ada yang langsung mencibir dan mengaitkan hal ini dengan fakta bahwa Ahok tetap maju sebagai wakil parpol ketimbang independen, lewat Gerakan 1 juta KTP.
Salah satu independensi adalah bebas hutang finansial.
Berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang cagub DKI?
Dari laporan resmi, semua paslon DKI spend di atas Rp 50 milyar (putaran pertama) dan sektiar Rp 30 milyar (putaran dua).
Tiga paslon DKI kebetulan punya tiga sumber dana berbeda.
Namun hanya satu calon yang SELURUH sumber-nya dari sumbangan ribuan elemen masyarakat, mayoritas individu, yaitu Ahok.
Mungkin ini pertama di Indonesia.
Dan hanya menerima dari yang ber-NPWP, agar satu-satu diperiksa Dirjen Pajak kalau perlu.
Artinya? Punya hutang uang ke ribuan anggota masyarakat.
Tidak ada hutang ke parpol, ke sekelompok individu, ke sekelompok perusahaan.
Paslon lain ada yang dominan disumbang Parpol.
Apakah yakin Parpol tidak ‘menagih’?
Logika simpel, darimana Parpol bisa financing kandidat di pilkada 5 tahun lagi dong?
Paslon lain ada yang pakai uang sendiri.
Iya, Rp 80 milyar uang pribadi, kalau dari laporan kekayaan, sekitar 2% dari kekayaan.
Semoga saja, beliau tidak berharap perlu dikembalikan.
Kalau mau iseng, cek laporan dana Gubernur California (negara bagian terbesar di AS) dan bandingkan dengan Ahok.
Semoga makin banyak calon legislatif dan pemimpin yang bukannya harus bayar untuk nyalon, malah dibayarin.
[wp_ad_camp_1]