[tanggal terbit Warta Laurensius : 17 Agustus 2008]
Hari Minggu ini, negara kita genap berusia 63 tahun menikmati kemerdekaanya. Kalau kita lihat kehidupan kita sekarang, sudahkah kita bebas dari penjajahan? Tentu saya akan dibilang gila, kalau bilang belum. Mana ada perang? Mana ada ketakutan? Mana ada orang yang mengatakan saat ini kita dijajah.
Sejenak saya merenung, bagaimana sebenarnya rasanya hidup dalam masa penjajahan. Apakah saat berjalan di depan rumah, saya merasa takut? Apakah sewaktu-waktu, ada orang Belanda yang tiba-tiba bisa memukul saya dan menjadikan saya pekerja paksa di pertaniannya?
Dan bagaimana sebenarnya Belanda itu menjajah Indonesia, apakah seperti saat Amerika melakukan invasi ke Irak dan menghancurleburkan negara itu? Rasanya tidak. Sepanjang pengetahuan saya, penjajahan itu dimulai dari unsur ekonomi, bukan kekerasan.
Dimulai dengan perdagangan, kemudian mulai berkolusi dengan para raja dan orang penting di kerajaan. Kalaupun ada yang menentang, katakanlah Perang Diponegoro, itu hanya sporadis, anggap saja pemberontakan terhadap kerajaan dan Belanda.
Apakah motif penjajahan itu politik? Kekuasaan? Saya kira juga tidak. Motif utama tentulah aspek ekonomi. Dan sekejam apa pun sang penjajah, tentu tidak akan sebodoh itu untuk membunuh ayam yang memberinya telur emas. Jadi satu yang bisa saya duga, saat penjajahan itu banyak hasil kerja kita lari ke luar negeri, tidak dinikmati oleh rakyat kita sendiri.
Nah.. dengan definisi tersebut, kalau saya renungkan pertanyaan tadi, apakah kita sudah bebas dari penjajahan? Rasanya masih ada beberapa karakteristik yang sama. Lupakan dulu cara penjajah jaman dulu, tapi kita lihat motif ekonomi.
Apakah acuan ‘sukses’, ‘lifestyle’, dan ‘brand keren’ yang saat ini ada di masyarakat kita? Acuan lifestyle selalu ke negara luar yang dianggap sukses. Brand keren pasti merk luar (walau soal kualitas, toh kadang ‘Made in Indonesia’ juga).
Berapa banyak hasil kerja kita yang lari ke luar negeri… hmm mari kita lihat jumlah bank lokal yang besar, dapat dihitung dengan jari, selebihnya, Lippo, Niaga, BII, Danamon, sudah bukan 100% milik insan Indonesia. Belum kalau lihat telekomunikasi, dari semua provider, berapa sih kandungan lokal? Artinya berapapun keuntungan dari perusahaan-perusahaan yang notabene besar tersebut, sebagian akan lari ke luar negeri.
Titik penting menuju kemerdekaan Indonesia adalah kebangkitan nasional, saat kita menyadari perlunya semangat kebangsaan. Mungkinkah kita butuh another kebangkitan nasional untuk lebih merdeka lagi?