A tree house.
A free house.
A secret you and me house.
A high up in the leafy branches,
A happy as can be house.
A street house.
A neat house.
A be sure to wipe your feet house,
is not the kind of house for me.
Let’s go and live in a treehouse.
(Shel Silverstein)
Rasanya engga lazim di Indonesia, anak2 punya rumah pohon. Jadi, jangankan punya; lihat pun nyaris jarang. Paling banter berkhayal melihat rumah pohon pada saat membaca buku, atau paling engga nonton di teve.
Salah satu perkenalan pertama kali adalah Rumah Pohonnya kelompok Sapta Siaga karangan Enid Blyton. Kalau mereka mau ber’siasat’; biasanya mereka berada di rumah pohon.
Atau film – The Hook, tentang Peter Pan (diperankan oleh Robin Williams) dewasa yang harus kembali menjadi Peter Pan yang percaya pada magic.
Sejatinya Rumah pohon selalu digambarkan sebagai places of adventure, imagination and make-believe buat anak-anak. Buat menyimpan ‘harta’ dan ‘rahasia’. Buat bersembunyi, membaca buku, ataupun berkhayal.
Untuk naik keatas, biasanya menggunakan tangga lipat, ataupun tali, ataupun papan2 yang dipaku ke pohon. Engga semua orang boleh naik ke rumah pohon ini. Itu mungkin salah satu sebab kenapa diletakkan diatas pohon. Biar engga semuanya naik. Hanya orang2 yang diijinkan saja buat naik. Tapi buat yang boleh naik, rumah pohon ini bisa menjadi ‘markas’ yang menyenangkan.
Saat melihat rumah pohon di The Green, daerah BSD – menghela nafas. Terpesona. Seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Melihat rumah pohon, sekali lagi.
Keep on dreaming!
