Tanggal terbit di Warta Laurensius : 18 Mei 2008
Sudah sering kita mendengar slogan slogan akan keberpihakan pada rakyat kecil, ekonomi lemah. Sering supermarket besar diprotes keberadaannya karena menghimpit toko-toko kecil.
Pembicaraan di tingkat politik dan ekonomi bisa membuat kita diskusi panjang sekali. Namun kenyataan gampangnya di lapangan adalah, supermarket yang besar akan bisa menjual barang lebih murah. Para pemilik toko kecil tidak bisa bersaing. Posisi mereka sebagai pemilik toko hilang, dan tergantikan oleh karyawan-karyawan di supermarket besar.
Itulah realitas. Salahkah pemerintah yang memberi ijin usaha? Mungkin. Bisa dicegah? Tidak. Lha wong, konsumen senang koq, dapat harga lebih murah.
Di minimart Alam Sutera, kalau kita beli sebotol Aqua, harganya Rp 1.400. Berjalan sedikit ke tempat yang berjualan makanan, harga air botol (bukan merk Aqua), Rp 2.000. Sebagai konsumen, selisih harga itu cukup besar. Namun bagi usaha-usaha kecil dan menengah di sekeliling kita, selisih itulah yang menghidupi keluarga mereka setiap harinya.
Saat membeli buah di pedagang kaki lima, kita punya kecenderungan menawar hingga titik darah penghabisan. Argumen yang paling ampuh adalah “Wah, di supermarket aja harganya sekian.” Secara logika, tentu saja si pedagang tidak bisa menjual sama seperti harga supermarket.
Dia hanya bisa mengangkut dalam jumlah terbatas. Jadi pasti dia sudah menetapkan keuntungan per kilo yang menurut dia bisa menghidupi keluarganya hari itu, serta membeli atau mengusahakan buah untuk dibawa di hari berikutnya. Dan saat tawar menawar itu, terkadang mereka ‘terpaksa’ menerima (apalagi kalau pembeli sudah mengeluarkan jurus terakhir yaitu ‘berjalan menjauh’). Yah, agar dia bisa bawa pulang uang.
Jadi bagi saya, salah satu cara untuk membantu ekonomi sekeliling kita adalah dengan sebisa mungkin menghidupi usaha-usaha kecil, dimana usaha mereka adalah ‘nyawa’ keluarga.
Pertama, cobalah untuk mengalihkan sebagian pembelian ke usaha kecil, walau harga lebih mahal. Belanja ke pasar tradisional, beli pulsa lewat kios-kios kecil, makan di yang bukan food-chain besar.
Kedua adalah dengan menahan diri untuk menawar hingga maksimal, seperti saat membeli di kaki lima atau saat mau naik ojek.
Ketiga, belilah barang yang banyak melibatkan komponen dan tenaga dalam negeri. Ini mungkin sulit dipilah-pilah karena bagi orang awam kadang tidak sadar kalau ternyata bank ABC sudah jadi milik asing, sedangkan bank DEF adalah bank lokal. Tapi yang pasti, kalau kita beli barang yang komponen lokal tinggi, uang akan banyak berputar di kita-kita juga, bukan lari ke luar negeri.
Tiga tindakan ini tidak akan membuat kita jadi jatuh miskin koq.
Saya tidak anti kemapanan atau anti perusahaan besar. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita bisa punya peran (walau amat amat sangat kecil) sebagai penyeimbang ekonomi.
Kita sering mengkritik para penguasa yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil atau mencari keuntungan pribadi. Namun di kehidupan sehari-hari, kitalah ‘penguasa’ itu (yang juga mencari keuntungan dengan memilih harga lebih murah).
Ingat, pembeli adalah memang raja, karena dia punya dua kekuasaan yaitu uang dan pilihan. Saat melakukan pembelian kitalah raja itu. Gunakan kekuasan Anda dengan bijaksana. (im)