Our Journey
Yeah, it’s a long journey karena kami married sejak 1999.
Kami jadi tahu banyak soal fertilitas (it’s amazing how human baby is created, conceived and born!), jadi banyak hal menarik yang pastinya menjadi kisah kehidupan kami.
Kalau kami coba napak tilas, maka berikut adalah pengalaman kami soal ini
Metoda Medis
- Diawali dari konsultasi di RS Siloam Kebon Jeruk & Karawaci (androlog-obgyn). Jadi kenal dua obat keras utk hormon : Parlodel dan Andriol. Yg satu bikin pusing (Monik), yg lain bikin liver ga enak (Edward).
- Konsultasi di seorang dokter ternama (obgyn) di Pantai Indah Kapuk, yang harus rela antri giliran jam 9-10 malam, dengan waktu konsultasi yang amat terbatas. Inilah pertama kali punya kesan buruk dengan aspek komersial di kedokteran.
- Operasi Varikokel atas rekomendasi urolog di RS Pluit Jakarta, yang walau membantu, tapi bikin traumatik, karena harus mengalami tidak bisa bernafas bbrp menit akibat selang pernafasan kecepetan ditarik (Edward).
- Konsultasi di RSIA YPK Menteng, utk terapi antibodi yang masih inkonvensional.
- Konsultasi di RSIA Sam Marie di Wijaya, mencoba inseminasi.
- Sempat checkup dan konsultasi ke senior doctor di NUH Singapura. Same advise and same protocol.
- Setelah vakum cukup lama, mencoba kembali ke RS Omni karena dekat rumah. Tapi begitu dokternya menjabarkan metodanya yang standar, kami jadi malas. Been there, done that.
- Atas rekomendasi seseorang, memutuskan ke RS Harapan Kita (klinik Melati). Dapat pengalaman test lab bareng seorang menteri 🙂
- Laparoskopi di RS Pura Ibunda Yogya, dokter yang membantu kelahiran Monik 31 tahun sebelumnya. Akan selalu dikenang karena setelah tindakan, esoknya gempa Yogya.
Metoda Alternatif
- Shinshe di Glodok yg obatnya luar biasa pahit, sepahit perjalanan ke Glodok dari Serpong 🙂
- Refleksi di Gading Serpong. Sakiittnya minta ampun.
- Akupuntur di Gading Serpong. Malah flu dan susah buang air yg duluan sembuh.
- Konsultasi alternatif radiestesi di BSD (jam 5 pagi harus sudah antri), terhenti karena terapisnya malah sakit jantung dan berobat di luar negeri.
Setelah itu semua, seperti sudah diatur oleh Yang Di Atas, kami dipertemukan dengan dr Ivan dari Bunda International Clinic (BIC), dan Edwin-Lala (both are Edward’s friends) yang praktek radiestesi di Tajur, Bogor.
Kami engage dengan keduanya melalui cara yang penuh divine intervention. Dengan ini, kami menempuh secara paralel, cara medis dan alternatif.
Keduanya menyenangkan karena tidak melelahkan karena di BIC kedatangan disesuaikan antrian (tidak tunggu terlalu lama), dan di Tajur/Bogor, karena kenal, selalu minta nomor bontot. Kalaupun nunggu,nunggu sambil ngobrol di rumahnya 🙂
Selain itu, yang juga menyenangkan adalah keduanya amat konsultatif. Bukan ambil diagnosa umum. Banyak pengalaman sebelumnya kami malas, karena walaupun terbukti tak ada kemajuan, si dokter/terapis sama sekali tidak mengubah strateginya.
Tahun 2009 kami mencoba bayi tabung, dg long protocol. Dan berhasil. Namun di luar kandungan (ectopic pregnancy), sehingga harus diangkat.
Sedih (banget) tentunya, namun kami kembali mencoba, dengan strategi berbeda. Cycle kedua dengan short protocol, gagal. Cycle ketiga kembali ke long protocol, dengan penambahan satu strategi, juga gagal.
Cycle keempat, long protocol. Tindakan persis dilakukan pas Edward ultah. Dan diputuskan transfer embrio dilakukan di state blastocyst (dibiarkan hidup di luar lebih lama sebelum ditransfer).
Pada saat test dua minggu kemudian, kami sempat kecewa karena test urine negatif. Namun sorenya, test darah ternyata positif! Dua minggu setelah itu, kami mendapat konfirmasi bahwa janin di dalam kandungan, terdeteksi, dan kembar!!
—–
Catatan
Jika direnungkan, kami merasa beruntung karena walau kelihatan banyak tindakan medis maupun alternatif yang tidak berhasil, namun bagi kami, semua memainkan peran yang positif.
Karena kami sadar bahwa masih ada teman/orang lain yang menghadapi situasi seperti kami, maka kami punya beberapa hal yang mungkin bisa kami share :
- Find reason to have child. Kami sama sekali tidak merasa tertekan dengan ketiadaan buah hati (bukannya ngga mengharapkan lho). Tapi kami sama sekali tidak melihat adopsi sebagai opsi, karena bukan itu alasan kami. Kami juga beruntung tidak ada desakan dari keluarga untuk segera punya anak ataupun mengadopsi.
- Stress pengaruh. Kami termasuk rajin memeriksakan diri, dan terbukti bahwa indikator fertilitas cenderung lebih baik saat liburan 🙂
- Pola hidup amat pengaruh. Tanpa mengecilkan upaya tim medis, salah satu kejadian yang terjadi di antara upaya kami ke 3 dan ke 4 adalah ‘musibah’ yang menimpa Edward yaitu lower back pain yang memaksa kami jadi rajin olahraga dan hidup lebih sehat (berat badan turun.. menurut riset, berat badan ternyata berbanding terbalik dengan kans punya anak).
- Cari dokter/terapis yang cocok. Indikator penting bagi kami adalah kesediaan mereka untuk komunikasi dua arah. Kami tidak suka dijejali obat dan tindakan tanpa tahu tujuan dan strateginya. Awalnya mungkin diam aja sih, tapi kalau sampai masih tak ada kemajuan, dan juga tak ada perubahan strategi : quit! Save your money and time. Tapi jangan juga terlalu cepat quit ya… ask them how long we have to wait sampai ada indikasi sukses.
- Kehendak Tuhan. Apa pun usaha manusia, ada hal lain yang mempengaruhi. Diberi, adalah karunia. Tidak diberi, bukan akhir dunia.